• Login
  • Register
Selasa, 15 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tentang Wayang, Krishna, Sengkuni dan Sepenggal Kenangan Bersama Ayah

Dari Wayang aku belajar, tidak harus melalui teks agama untuk aku mengenal diri dan Tuhanku, karena semua yang ada di dunia adalah atas Kuasa dan Kehendak-Nya, dan merupakan perwujudan lain dari-Nya

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
15/03/2022
in Pernak-pernik
0
Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

170
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tulisan ini tidak akan membahas tentang hukum menyaksikan Wayang. Jika membincang tentang hukum, maka hukum yang dikeluarkan pun akan berbeda-beda, tergantung kondisi lahir dan batin si peminta fatwa. Namun, bagi saya, Wayang memiliki bagian tersendiri dalam memori ingatan dan hidup saya.

Apabila membicarakan Wayang, seketika itu juga sosok mendiang Ayah saya hadir. Ya, Ayah saya adalah seorang yang terlahir dalam tradisi Jawa. Seperti nama kota tempatnya dilahirkan, ia terlahir dari Bapak yang merupakan kaum abangan, dan Mbok yang berasal dari kaum santri. Ayah, bagiku adalah makna lain dari Jombang (Ijo lan Abang) itu sendiri.

Ayah dan Wayang adalah satu kesatuan. Sejak kecil ia sangat menggandrungi semua karakter Wayang, bahkan di akhir-akhir hayatnya, ketika usai mengaji, sambil melakukan wirid menjelang tidur, sering kali ia menyaksikan pertunjukan Wayang melalui kanal Youtube ataupun pada siaran TV nasional yang menayangkannya.

Jika telah demikian, tentunya hukum melihat dan merenungi karakter Wayang dalam tiap lakonnya bukanlah suatu yang haram menurut versi saya pribadi, melainkan mubah. Ada beberapa hal tentang Wayang yang dapat kita definisikan ulang bersama:

Pertama, berdasarkan asal dan bentuknya, Wayang merupakan seni pertunjukkan tradisional asli Indonesia yang umumnya ditampilkan pada masyarakat Jawa dan Bali. Seperti pertunjukkan pada umumnya, Wayang tentunya memiliki produser, sutradara, aktor, beserta script cerita tertentu. Karena lahir tidak pada era saat ini, maka media yang digunakan adalah kulit, bukan media digital yang berupa tokoh manusia maupun animasi.

Baca Juga:

Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Sesuai dengan tujuannya, pertunjukkan Wayang ditampilkan adalah untuk menghibur bagi mereka yang menyaksikannya. Menyaksikan alur cerita yang dibawakan oleh Dalang, alunan merdu suara Sinden yang diiringi Gamelan, dan suasana meriah yang diciptakan oleh kerumunan masyarakat yang menyaksikannya.

Mungkin semacam pertunjukan KPop kalau diqiyaskan dengan kondisi saat ini. Bukankah mendengarkan hal-hal yang indah di telinga itu menenangkan jiwa? Sebagaimana yang disampaikan Imam Al-Ghazali, filsuf Muslim Iran w. 1.111 M, “Orang yang jiwanya tidak tergerak semilir angin, bunga-bunga, dan seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati.”

Kedua, berdasarkan runtutan sejarahnya, menurut Sri Mulyono dalam bukunya Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Wayang bukanlah tradisi Hindu, melainkan tradisi asli lokal leluhur bangsa Indonesia. Awalnya, sebelum agama samawi masuk, leluhur bangsa Indonesia menggunakan Wayang sebagai media untuk memanggil roh. Hal ini adalah salah satu bentuk keimanan, dimana manusia memiliki keyakinan bahwa ada Zat yang lebih berkuasa dan memiliki kekuatan melebihi kekuatan manusia.

Dengan masuknya Hindu, Wayang kemudian menjadi pertunjukan bayang-bayang yang sarat dengan magis religius. Bahkan saat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, oleh Sunan Kalijaga, Wayang menjadi media penting untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai akidah dan syara’ kepada masyarakat Jawa. Sehingga dapat disimpulkan, bahwasanya kehadiran Wayang tidak terlepas dari hal-hal yang berbau agama, baik sebagai media ritual, maupun media dakwah.

Ketiga, berdasarkan lakonnya. Lakon atau tokoh dalam pewayangan memiliki beragam karakter. Karakter-karakter yang dibawakan oleh dalang adalah karakter yang umumnya dimiliki oleh manusia, baik itu antagonis maupun protagonis. Karena pertunjukkan Wayang lebih umum bersifat dan lekat akan religiusitas, maka karakter-karakter yang ditampakkanpun adalah karakter yang dibutuhkan untuk pembinaan rohani para penikmatnya.

Kisah-kisah yang disampaikan berasal dari kisah para pujangga Jawa, maupun pujangga tanah Hindustan. Dari manapun kisahnya berasal, hampir keseluruhan karakter para lakon menampakkan nafsu-nafsu yang terdapat pada diri manusia, yakni nafsu mutmainnah, lawwamah, dan amarah.

Kita ambil contoh lakon Mahabarata, kisah yang paling disukai oleh mendiang Ayah saya, di sana ada karakter Krishna yang sangat berwibawa, ia memiliki kebijaksanaan yang luhur, berbeda dengan Sengkuni yang di hatinya penuh dengan rasa iri, jahil, dan licik. Sejatinya para penikmat Wayang sedang diajak untuk mengelola nafsunya, agar nafsu-nafsu yang baik (nafsu mutmainnah dan lawwamah) dapat disuburkan, dan nafsu yang buruk (nafsu amarah) dapat dikontrol.

Nafsu amarah sebagai jenis nafsu buruk tidak perlu dihilangkan, demikian kata Ayah, karena kita memerlukannya. Yang harus kita lakukan adalah mengontrol nafsu buruk itu, agar ia tidak liar. Kita perlu untuk merasa lapar, namun lapar yang kita rasa janganlah menjadikan diri menjadi serakah, kita memerlukan lapar agar tubuh mendapat asupan makan untuk keberlangsungan hidup.

Kita juga perlu merasa marah, saat melihat banyak ketidak-adilan terjadi di hadapan kita, namun kita harus mengontrol marah itu agar tidak menjadi liar dan merugikan banyak pihak, cara mengontrolnya adalah dengan memiliki pengetahuan, dan pengalaman yang mumpuni atasnya.

Kata Ayah, kadang aku adalah Krishna, dan seringnya aku adalah jelmaan Sengkuni. Ini menunjukkan, bahwasanya masih banyak tugas kita sebagai manusia untuk mengendalikan nafsu-nafsu buruk dalam diri kita, dan terus mengistiqamahkan nafsu-nafsu baik yang dapat diwujudkan dengan berbagai cara yang baik pula.

Dari Wayang aku belajar, tidak harus melalui teks agama untuk aku mengenal diri dan Tuhanku, karena semua yang ada di dunia adalah atas Kuasa dan Kehendak-Nya, dan merupakan perwujudan lain dari-Nya.

Saat manusia mendapatkan kedamaian dalam jiwanya melalui alunan gamelan dan alur cerita wayang, di saat itulah Tuhan sedang berbicara dengannya. Kedamaian ini akan menuntun manusia menjadi pribadi yang baik, yang akan berakibat pula pada hubungannya dengan sesama, sehingga hubungan yang terjalin adalah hubungan yang penuh dengan kedamaian.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin sekali mengutip perkataan Buya Husein Muhammad, “Golongan manusia yang memberi apresiasi tinggi terhadap seni, estetika dan etika adalah filsuf, sufi, dan humanis.” []

 

Tags: IndonesiaKebangsaanNusantaraTradisiWayang
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Hak-haknya Perempuan

Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi

14 Juli 2025
Ukhuwah Nisaiyah

Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam

14 Juli 2025
Jihad

Jihad Perempuan Melawan Diskriminasi

14 Juli 2025
Perempuan Masa Kini

Ruang Baru Perempuan dalam Kehidupan Masa Kini

14 Juli 2025
Tafsir Keadilan Gender

Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir

13 Juli 2025
Perempuan

Merebut Kembali Martabat Perempuan

13 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Krisis Ekologi

    Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ronggeng Dukuh Paruk dan Potret Politik Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi
  • Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi
  • Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam
  • Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman
  • Jihad Perempuan Melawan Diskriminasi

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID