• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Bagaimana Memaknai Wa’ashiruhunna Bil Ma’ruf Suami Istri?

Kerelaan, atau dalam Bahasa Arab “ridha”, adalah penerimaan dan kenyamanan seseorang terhadap orang lain. Artinya, kerelaan itu harus dari dan oleh kedua orang, istri serta suami

Zahra Amin Zahra Amin
28/10/2021
in Hikmah
0
Chemistry

Chemistry

533
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suatu hari saya menemukan status WA yang narasinya tak pantas untuk dibaca. Curhatan pasangan muda, suami istri atas kondisi rumah tangganya yang masih seumur jagung. Pernikahan muda yang dijalani memang rentan konflik, selain usia yang masih muda, lelaki masih di usia awal 20-an, dan perempuan di usia akhir belasan tahun. Sungguh, bukan usia yang ideal untuk memulai awal gerbang rumah tangga.

Tak ada ketenangan dan kedamaian dalam menjalani hari-hari bersama keluarga. Salah paham sedikit bisa memantik emosi yang tak berkesudahan. Ujung-ujungnya adalah saling menyalahkan, dan berakhir dengan kata-kata perceraian. Lalu, bagaimana pasangan suami istri itu memaknai wa’ashiruhunna bil ma’ruf?

Ada satu prinsip bagi saya dan suami dalam mengelola persoalan rumah tangga yang ingin dibagikan, meski mungkin setiap keluarga mempunyai cara komunikasi yang berbeda. Tetapi cara ini selama bertahun-tahun cukup efektif untuk menjembatani kesalahpahaman yang kerap terjadi. Sebab tidak ada hidup yang sepi dari konflik. Justru tidak ada masalah apa-apa, juga merupakan masalah dalam keluarga. Artinya, tidak pernah ada komunikasi yang terjadi dalam keluarga tersebut.

Hal yang sering kami, saya dan suami upayakan adalah pertama, tidak membawa persoalan rumah tangga ke media sosial, karena kami merasa konflik akan menjadi liar. Semakin banyak orang lain tahu, bukan malah membantu, tetapi memperkeruh masalah. Kedua, tidak melibatkan orang lain. Jika masih bisa diselesaikan berdua, maka selesaikan saat itu juga.

Ketiga, semarah apapun kami terhadap pasangan, tidak mengeluarkan kata-kata kasar, dan melakukan kekerasan fisik. Ini adalah prinsip. Bahkan kita bisa meneladani sikap Nabi Muhammad SAW bagaimana beliau mengendalikan amarah, agar tak tumpah-ruah.

Baca Juga:

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Tafsir Sakinah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA berkata, seorang lelaki berkata kepada Rasulullah SAW, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab: “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi SAW(selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari nomor 6116)

Maka sebagai umat Muslim yang taat, kita dianjurkan untuk tetap menjaga amarah. Berikut beberapa cara untuk meredakan amarah sesuai teladan Rasulullah SAW:

  1. Membaca isti’adzah

Salah satu yang dianjurkan untuk meredakan amarah adalah membaca doa isti’adzah, doa untuk meminta perlindungan Allah Swt dari godaan setan dan perasaan marah. Rasulullah SAW bersabda “Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A’udzu billah minasy syaithaanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).” (HR. Bukhari Muslim).

  1. Diam

Jika seseorang marah tindakan dan ucapan akan tidak beraturan, hingga mampu mendatangkan murka Allah. Maka dari itu, saat marah lebih baik untuk diam agar terhindar dari dosa akibat perilaku yang muncul dari perasaan marah.

Hadits lain juga tersebutkan dari Ibnu Abbas RA, Nabi SAW bersabda, “Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).

Nabi SAW tak pernah satu kali mengingatkan hamba tentang marah “Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Berwudhu

Bahwa sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia, dan air wudhu mampu menenangkan api amarah dalam hati. Maka saat marah segeralah berwudhu untuk meredakan perasaan amarah lainnya. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

“Sesungguhnya marah itu dari syaitan, dan syaitan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

  1. Mengubah posisi

Saat dengan meluapkan emosi biasanya seseorang akan berdiri sebagai bentuk respon marah. Jadi, cobalah untuk duduk agar perasaan marah segera hilang. Dari Abu Dzar, Rasulullah SAW menasihatkan:

“Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Demikian sikap mu’asyarah bil ma’ruf itu, yang merupakan etika yang paling fundamental dalam relasi suami istri. Ia juga menjadi salah satu pilar yang bisa menjaga dan menghidupkan segala kebaikan yang menjadi tujuan bersama, sehingga bisa terus dirasakan dan dinikmati oleh kedua belah pihak. Bahkan dalam melakukan hubungan seksual.

Pilar ini juga menegaskan mengenai perspektif, prinsip, dan nilai kesalingan antara suami dan istri. Bahwa kebaikan harus dihadirkan dan sekaligus dirasakan oleh kedua belah pihak. Jika ingin diringkas, maka pilar ketiga ini adalah yang utama dan menjiwai ketiga pilar yang lain.

Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Annisa (4 : 19), dan ayat-ayat yang lain, yang ditujukan kepada laki-laki dengan menggunakan struktur bahasa laki-laki (mudzakkar). Karena secara sosial, laki-laki yang relevan dengan kewenangan yang dimiliki,  biasa melakukan pemaksaan, mewarisi tubuh mereka, menghalangi dan mengambil harta mereka.

Ayat ini mengajak para laki-laki, sebagai orang yang beriman agar meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Kebiasaan yang lumrah pada masa jahiliyah, dan seringkali juga masih terjadi di masa sekarang. Sebaliknya ayat tersebut menuntut mereka untuk membiasakan berperilaku baik terhadap perempuan (istri).

Dalam perspektif mubadalah, substansi ini juga berlaku bagi perempuan. Artinya, para perempuan juga dilarang melakukan pemaksaan terhadap laki-laki, menghalangi dan merampas harta. Begitupun menuntut para perempuan untuk berperilaku baik kepada laki-laki (suami).

Dampak dari kesalingan dalam hal berbuat baik ini adalah kerelaan dari kedua belah pihak. Kerelaan, atau dalam Bahasa Arab “ridha”, adalah penerimaan dan kenyamanan seseorang terhadap orang lain. Artinya, kerelaan itu harus dari dan oleh kedua orang, istri serta suami.

Dengan pilar kerelaan yang resiprokal ini, seseorang tidak mudah menyalahkan pasangannya, menyudutkan, apalagi melakukan kekerasan. Sebaliknya, seseorang akan selalu mencari sisi baik pasangannya, berbaik sangka, cepat memaafkan, dan kembali merajut tali kasih bersama.

Sehingga semakin pernikahan itu membawa kebaikan, pada kedua belah pihak, maka semakin baik di mata Islam. Hukumnya antara Sunnah dan Wajib. Demikian pula jika membawa keburukan pada istri atau suami, hukumnya akan menjadi haram, atau setidaknya makruh.

Ini semua karena prinsip dasar hukum Islam dalam segala hal adalah menghadirkan kemaslahatan dan menjauhkan keburukan. Dengan perspektif mubadalah, prinsip hukum ini berlaku bagi suami sekaligus juga untuk istri.

Suami melalui pernikahannya yang banyak menghadirkan kebaikan bagi istri, anak-anak dan masyarakat. Begitu juga perempuan, melalui pernikahannya yang mampu menghadirkan kebaikan untuk laki-laki, anak-anak dan masyarakat. Keduanya akan memperoleh apresiasi Islam dan pahala di akhirat nanti. []

Tags: istriKesalinganRelasirumah tanggasuamiSunnah Nabi
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Wahabi

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

30 Juni 2025
Taman Eden

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

30 Juni 2025
Beda Keyakinan

Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

30 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

29 Juni 2025
Sakinah

Tafsir Sakinah

28 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Mari Hentikan Pengontrolan Seksualitas Perempuan

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID