• Login
  • Register
Senin, 20 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Al-Sufur Wa Al-Hijab Karya Nazhirah Zainuddin

Buku Al Sufur wa al Hijab ditulis Nazhirah Zainuddin, seorang perempuan aktivis kelahiran Aleppo Irak (1908-1976).

KH. Husein Muhammad KH. Husein Muhammad
16/02/2021
in Buku
0
Nazhirah Zainuddin

Nazhirah Zainuddin

195
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id – Para aktivis, seperti Nazhirah Zainuddin,  yang bekerja dan berjuang untuk kesetaraan dan keadilan gender masih menghadapi tantangan besar dari banyak pihak. Tetapi tantangan paling sensitif muncul dari “agama” atau lebih tepatnya “tafsir keagamaan”.

Di dalam pandangan para aktivis, wacana keagamaan (Islam) masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan marginal. Misalnya laki-laki adalah makhluk superior, dan hanya laki-laki yang berhak menduduki posisi puncak baik dalam ranah domestik maupun publik. Sementara perempuan adalah makhluk inferior dan domestik. Mereka meyakini posisi subordinat perempuan dan superioritas laki-laki adalah “kodrat” kehendak Tuhan.

Mereka juga berpendapat perempuan tidak boleh menampakkan diri kecuali wajah dan kedua telapak tangannya di ruang publik. Dan masih banyak isu yang lain. Wacana keagamaan seperti ini seakan-akan telah menjadi  kebenaran yang tidak bisa diganggu dan dikritik.

Upaya-upaya untuk melancarkan kritik terhadap wacana ini dalam banyak kasus menimbulkan reistensi yang tinggi dan keras. Masyarakat hanya memahami bahwa pandangan keagamaan yang selama ini mereka jalani adalah benar dan final. Itulah cara pandang kebudayaan patriarkis.

Parta aktivis sangat sadar bahwa pandangan keagamaan seperti itu dapat dimaklumi untuk zaman lampau yang jauh. Akan tetapi tidak lagi menguntungkan baik untuk perempuan sendiri maupun untuk masyarakat luas dalam konteks zaman ini dan mendatang. Karena itu menurut mereka reinterpretasi bukan hanya perlu, tetapi adalah niscaya dan keharusan.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik
  • Pentingnya Peranan dan Kontribusi Ulama Perempuan
  • Dunia Islam Menunggu Kelahiran Banyak Ulama Perempuan
  • Ulama Perempuan Abad 20

Baca Juga:

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

Pentingnya Peranan dan Kontribusi Ulama Perempuan

Dunia Islam Menunggu Kelahiran Banyak Ulama Perempuan

Ulama Perempuan Abad 20

Upaya reinterpretasi harus dilakukan untuk mendapatkan pandangan baru yang lebih adil terhadap perempuan. Cara pandang ini bukan hanya sebagai cara membela dan menguntungkan kaum perempuan, melainkan memberikan keuntungan bagi semua orang, bangsa, dan negara.

Dari  titik ini mereka memandang bahwa sudah saatnya kita mencari dan memproduk buku-buku bacaan yang berperspektif keadilan. Apalagi jika ditulis oleh perempuan sendiri dalam porsi yang lebih banyak dengan kajian yang lebih mendalam. Dan saya menemukan sebuah buku yang cukup menarik untuk didiskusikan terkait dengan isu-isu perempuan. Ia berjudul “Al-Sufur wa al-Hijab”.

Buku Al Sufur wa al Hijab ditulis Nazhirah Zainuddin, seorang perempuan aktivis kelahiran Aleppo Irak (1908-1976). Menurut saya ini adalah salah satu di antara buku yang perlu dibaca, bukan hanya oleh masyarakat di dunia Arab saja, melainkan juga oleh masyarakat Islam Indonesia, terutama para aktivis.

Buku ini bisa menjadi rujukan argumentatif yang lain dari sisi wacana agama, saya kira sangat dibutuhkan terkait isu jilbab, kerudung, atau istilah lainnya. Beberapa hal yang perlu dikemukakan mengenai kekhususan buku ini adalah:

Nazhirah melalui buku ini mengupas hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, terutama tentang Jilbab atau Hijab dalam perspektif dan semangat pembelaan terhadap perempuan. Nazhirah menyadari sepenuhnya dan bahkan mengalami sendiri betapa pandangan keagamaan sampai saat ini belum memihak kepada keadilan bagi perempuan.

Hampir produk-produk pemikiran dan interpretasi para sarjana Islam terhadap teks-teks keagamaan masih dipengaruhi oleh tradisi patriarkhi. Oleh karena itu, Nazhirah berusaha melakukan analisis kritis terhadap pandangan konvensional dan mainstream tersebut. Dalam bukunya yang lain berjudul: “Al-Fatat wa al-Syuyukh” ia mengatakan:

“Benar, di samping perempuan mempunyai hak untuk ikut serta dalam menentukan hukum, ia juga berhak berijtihad dalam kajian tafsir dan takwil (analisis hermeneutik), bahkan perempuan lebih kompeten menafsirkan ayat-ayat terkait dengan isu-isu perempuan”. (hlm. 179)

Hal menarik lain yang menjadikan buku ini berbeda dengan buku lain adalah bahwa Nazhirah tidak hanya menulis dari dalam kamarnya, melainkan juga berhadapan langsung dengan para ulama dan sarjana Islam terkemuka pada zamannya, antara lain dari Al-Azhar University dalam forum perdebatan, diskusi, dan polemik terbuka.

Nazhirah Zainuddin melancarkan kritik dan gugatan. Kritik Nazhirah cukup tajam, mengena, argumentatif  terhadap pandangan-pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama dari universitas Islam tertua dan terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang cemerlang dan berani.

Ia melancarkan perseteruan intelektual dengan kaum ulama terpandang yang disegani dunia Islam melalui argumen keagamaan dan sumber rujukan yang sama pula, tetapi dengan argumen, analisis, dan perspektif yang berbeda. Nazhirah berbicara dari pengalamannya sebagai perempuan dengan semangat pembebasan dari sistem budaya yang menindas.

Nazhirah Zainuddin adalah tokoh perempuan pejuang yang gigih dalam melakukan pembelaan terhadap kaumnya. Dia dapat disejajarkan dengan tokoh feminis lainnya seperti May Ziyadah, Nabiyah Musa, Huda Sya’rawi, Qasim Amin, dan Sa’ad Zaghlul. Pikiran-pikiran cerdas, kritis, dan mencerahkan Nazhirah menyangkut isu-isu perempuan tampaknya sejalan dengan tokoh-tokoh feminis Mesir tersebut.

Kajian Nazhirah mengenai topik yang dibicarakannya dilakukan dengan menganalisis secara langsung dari sumber otoritatif Islam; Al Quran dan hadits Nabi saw. sambil melakukan studi komparasi dengan kitab-kitab tafsir klasik: tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari, dan lainnya.

Dia juga banyak mengutip pikiran-pikiran tokoh besar lainnya seperti Muhyiddin ibnu Arabi, seorang sufi besar yang legendaris. Dari tokoh modern, Nazhirah merujuk pikiran Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, dan Syeikh Mushtafa al Ghalayini.

Nazhirah sangat menguasai kitab fikh dan pendapat ulama mazhab fikih yang selalu menjadi rujukan fatwa keagamaan. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak perlu diragukan lagi. Kapasitas intelektualnya sebanding dengan ulama laki-laki dari Universitas Islam tertua dan terkemuka di Mesir. Selain mereferensi sumber-sumber keilmuan tertulis itu, Nazhirah mengajak para ulama untuk melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial budaya dan politik.

Nazhirah ingin menyadarkan publik bahwa sumber pengetahuan tidak hanya diambil dari kitab-kitab klasik dan otoritatif tersebut. Bukan hanya berdasarkan teks agama dan ilmu pengetahuan saja, realitas sosial dan perkembangan kehidupan yang terus bergerak harus dibaca dan dipelajari. Realitas sosial harus menjadi dasar ilmiah yang memiliki tingkat otoritas tinggi, bahkan realitaslah yang seharusnya melahirkan kesimpulan ilmiah.

Secara literal “Al Sufur” berarti tanpa kerudung (terbuka) dan “al Hijab” secata literal berarti pembatas. Tetapi ia sering dimaknai sebagai kerudung, penutup kepala perempuan, jilbab atau cadar. Kita mungkin bisa menerjemahkannya dua kata itu sebagai “Keterbukaan dan Ketertutupan tubuh Perempuan”.

Jilbab digunakan masyarakat sebagai kain untuk melindungi seksualitas perempuan dari tatapan mata jalang laki-laki. Pada saat diturunkannya, ia bukan untuk membedakan identitas perempuan muslimah dan non muslimah, melainkan pembeda dari perempuan merdeka dari perempuan budak atau hamba sahaya. Ia dipakai perempuan Arabia dalam rangka tersebut.

Ia tidak selalu harus dipakai dalam situasi dihadapan semua laki-laki. Dihadapan ayah, kakak atau adik laki-laki, paman, kerabat dekat, perempuan atau laki-laki yang sudah tak memiliki hasrat seksual, dan lain-lain perempuan bisa lebih terbuka. Demikian pula  ketika dalam bekerja di pasar atau di sawah, saat perang, ketika pemeriksaan tubuhnya ke dokter, dan lain-lain.

Nazhirah melalui buku ini mengupas tuntas isu tersebut dan hal lain yang terkait. Komitmen utama Islam adalah pada moralitas personal dan sosial yang disebut al Qur’an dengan “taqwa”. Seperti Qasim Amin (Mesir), Taher al Haddad (Tunis), dan yang lain, Nazhirah sangat bersemangat untuk melakukan pembebasan perempuan dari belenggu dan penindasan kaum laki-laki atau budaya yang mengatasnamakan agama. Dia ingin melihat perempuan Islam maju dan membangun dunia yang adil dan beradab.

Saya selalu merindukan semakin banyak buku yang membahas tentang isu-isu perempuan dalam perspektif keadilan gender melalui pendekatan kultural. Yakni pendekatan yang mengakomodasi tradisi masyarakat dalam cara berfikir dan bertindak mereka yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dengan pengertian ini, reinterpretasi yang diinginkan dalam kerangka transformasi dan kemajuan sepatutnya mempertimbangkan kondisi tersebut.

Pada masyarakat Islam Indonesia, rujukan keagamaan mereka bertumpu pada kitab-kitab kuning. Kitab-kitab ini selalu menjadi referensi paling absah dan dipandang paling otoritatif untuk menjustifikasi perilaku personal maupun sosial. Oleh karena itu counter wacana juga perlu dilakukan melalui referensi yang sama.

Buku “Al Sufur wa al Hijab” karya Nazhirah Zainuddin ini menjadi penting untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mengingat argumen yang dikemukakannya sangat mencerahkan dan membuka pikiran. Meskipun begitu, ia tetap saja bukan tanpa resistensi dari kelompok-kelompok konservatif maupun “radikal”. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi proses transformasi kultural yang berkeadilan. []

 

Tags: feminismegerakan perempuanHijabJilbabMuslimah Feminis. Bukuulama perempuan
KH. Husein Muhammad

KH. Husein Muhammad

KH Husein Muhammad adalah kyai yang aktif memperjuangkan keadilan gender dalam perspektif Islam dan salah satu pengasuh PP Dar al Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Terkait Posts

Korban Kekerasan Seksual

Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

12 Maret 2023
Isu Gender

Etin Anwar: Isu Gender dalam Pandangan Filsafat Islam

4 Maret 2023
Women’s March

Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part III-Habis

13 Januari 2023
Dongeng dari Gus Mus

Awas, Manusia! Dongeng dari Gus Mus untuk Gen Alpha

10 Januari 2023
Relasi Mubadalah

Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part II

4 Januari 2023
Relasi Mubadalah

Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I

31 Desember 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rethink Sampah

    Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an
  • Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist